HERO


Satu kalender rutin nasional bulan November adalah peringatan Hari Pahlawan, hari besar nasional yang penetapannya merujuk pada peristiwa heroik perlawanan gigih rakyat Surabaya atas tentara sekutu pada 10 November 1945. In memorium, peristiwa 62 tahun silam itu mengingatkan kita pada bangkitnya heroisme, patriotisme dan nasionalisme rakyat kita guna membela negara proklamasi, apa pun taruhannya.

Peristiwa 10 November adalah bukti kecintaan rakyat pada negara proklamasi. Rakyat rela berkorban segalanya demi kemerdekaan. Bermodalkan senjata seadanya, rakyat Surabaya menyongsong dengan gagah berani mesin perang modern milik tentara sekutu yang sebelumnya berhasil meluluhlantakkan tentara Jepang, Italia dan Jerman. Keberanian rakyat Surabaya membuat gemetar nyali tentara sekutu. Kegagalan sekutu di Surabaya memberi sinyal kuat pada rakyat dan para pemimpin Indonesia bahwa sikap pantang mundur adalah modal utama dalam mempertahankan kemerdekaan. Bung Tomo, salah satu tokoh kunci peristiwa 10 November, adalah agitator ulung yang berhasil membakar semangat rakyat lewat pidato radionya yang inspiratif dan provokatif. Wajar jika kemudian Bung Karno dan para generasi '45 mengabadikan peristiwa 10 November itu sebagai I The Hero's Dayinya bangsa Indonesia.

Kendati berbeda, 'kepahlawanan' memiliki batas tipis dengan 'kekonyolan', karena di sana ada semangat dan kenekatan. Yang membedakan adalah kecermatan perhitungan dan kemuliaan nilai yang diperjuangkan. Bisa dikatakan, kepahlawanan adalah proses pencarian jati diri sebuah komunitas. Ia adalah pembentukan identitas sosial (social identity) menuju identitas bangsa (nations identity). Peristiwa Surabaya adalah kombinasi antara semangat untuk merdeka, rasa cinta tanah air, serta manunggalnya pemimpin dan rakyat. Itulah khittah dasar nasionalisme Indonesia, yang spiritnya bersemayam dalam frasa persa-tuan, solidaritas, kejujuran dan kerelaan berkorban yang tertanam kuat di lubuk hati pemimpin dan rakyatnya. Lalu, apa makna kemerdekaan dalam konteks kekinian kita? Sebagai bangsa kita tentu perlu membuat semacam neraca untuk mengalkulasi sejauh mana kemajuan yang telah kita capai setelah beroperasi selama 62 tahun sebagai negara merdeka. Pasca-proklamasi, aset utama Indonesia adalah 70-an juta rakyat dengan semangat nasionalisme dan patriotisme tinggi, dus kedaulatan wilayah (darat, laut dan udara) dengan seluruh kandungan kekayaan di dalamnya. Aset lain yang tak kalah penting adalah bahasa Indonesia, UUD '45, Pancasila dan berbagai pusaka warisan bangsa.

Ketika Soekarno-Hatta mendeclar kemerdekaan Indonesia, negeri ini dengan potensi kandungan kekayaan alamnya bisa saja dijadikan asset guarantie bagi negeri-negeri kaya. Tapi Bung Karno dan para pemimpin Indonesia lain tak berminat menjadikan kekayaan bangsa sebagai jaminan. Bung Karno ingin mendayagunakan resources yang ada dalam membangun Indonesia. Selama 21 tahun berkuasa, aset Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno belum banyak berkurang.

Tapi kini, terutama setelah krisis ekonomi 1997, bangsa ini lunglai di segala bidang. Utang luar negeri menggunung, produktivitas nasional rendah, kualitas sumber daya manusia memburuk, mayoritas rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, birokrasi bobrok, korupsi merajalela dan kekayaan alam yang terus tereksploitir. Kekuasaan kini berjalan tak lagi atas pandu amanat rakyat, tetapi an sich beroperasi atas dasar selera dan kepentingan penguasa. Yu Minah, misalnya, pedagang nasi pecel, yang kerap mengeluh soal kesulitan hidup yang terus melilitnya: 'Sudah 26 tahun saya jualan nasi pecel, tetapi ya begini terus. Ndak berubah. Makin hari, tambah susah!' tutur janda paruh baya asal Klaten yang setiap hari berkeliling menjajakan nasi pecelnya di bilangan Warung Buncit, Jakarta Selatan (Kompas, 26/9/05).

Reformasi sudah berlangsung hampir sewindu, tapi nasib rakyat bawah seperti Yu Minah tetap miskin, kalau bukan makin sengsara. Yu Minah tidak sendiri. Masih ada ribuan, bahkan jutaan potret Yu Minah lain yang pasrah menerima kemiskinan sebagai semacam 'takdir' kalau bukan 'kutukan'. Kemerdekaan sejatinya tidak melahirkan situasi sosial yang 'jumud' dan penuh ketimpangan. Di era ideologi neoliberal, bangsa ini perlu merefleksikan kembali berbagai kebijakan yang nyata telah ke luar dari tujuan dan cita-cita kemerdekaan. Di zaman serba 'pasar' yang komersial dan kompetitif ini, nilai kepahlawanan harus mengalami redefinisi. Kita membutuhkan pemimpin, tentara, birokrat, politisi, intelektual dan enterprener yang tidak hanya jujur dan bersih, tapi juga cakap dalam merumuskan dan mengelola kebijakan yang aspiratif dan berkhidmat pada kepentingan rakyat.

Ekonomi propasar tak berarti menyerahkan seluruh urusan ekonomi negara pada mekanisme pasar. Dalam konteks pasar, negara adalah regulator yang wajib mensinerjikan pasar sebagai energi penggerak tumbuhnya ekonomi rakyat (petani, nelayan, buruh, dan para pelaku usaha kecil). Konstitusi kita mewajibkan negara mengelola kekayaan bangsa dengan visi, konsep, modal, instrumen dan SDM secara mandiri, yang ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembukaan UUD 1945 eksplisit mengamanatkan bahwa republik ini didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam konteks ekonomi, Bung Karno menegaskan: (1) tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia; (2) ekonomi nasional tidak boleh dikuasai asing; dan (3) kesejahteraan harus merata dan dinikmati oleh seluruh rakyat.

Kita jangan cuma fasih memistifikasi Hari Pahlawan sebagai ritus tahunan. Faktual, nilai kepahlawanan kini telah mengalami reduksi; menjadi kosakata artifisial. Kita mengagungkan demokrasi sambil mengabaikan hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya rakyat. Reformasi terbukti tak serta merta bisa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat; jika bersamaan dengan itu prinsip-prinsip dasar demokrasi kebebasan, persamaan, kesetaraan dan toleransi disingkirkan. Di ordo neoimperial ini, kita membutuhkan pemimpin yang siap membela, melayani dan mewujudkan asa rakyat serta sanggup memulihkan kepercayaan rakyat dan harga diri bangsa. Adalah sebuah ironi jika para pemimpin kita cuma pandai beretorika dan tebar pesona. Rakyat tak sudi bangsa ini dijadikan operator kepentingan asing, menjadi budak modal global, menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.

Penulis adalah Program Officer ALNI Indonesia; dosen Ilmu Politik FISIP-UBK
Sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemangkasan Naungan

Teknik Perbanyakan Kopi secara Generatif

Laporan Praktikum Pembuatan dan Aplikasi Geer